Suroboyo Ngalor Ngidul adalah platform kelayapan berkeliling Kota Surabaya dengan berjalan kaki, bersepeda kayuh, dan ngangkot untuk mengenal kota. Suroboyo Ngalor Ngidul hadir karena terbatasnya akses pengetahuan kontemporer tentang Kota Surabaya. Sebagai kota pelabuhan terbesar kedua di Indonesia yang memiliki sejarah infrastruktur dan perdagangan yang besar, kota ini patut dipelajari lebih mendalam oleh warganya dan siapa pun, bukan hanya sekedar tentang kisah-kisah heroik kemerdekaannya saja. Suroboyo Ngalor Ngidul juga hadir karena banyak pertanyaan yang muncul, seperti kenapa perempuan tidak berkeliaran dengan bebas di kota ini, kenapa anak-anak dan orang tua sangat terbatas mobilitasnya, kenapa transportasi massal di Surabaya absen selama puluhan tahun sampai sekarang, kenapa begini, kenapa begitu, kenapa, kenapa, dan kenapa. Duh, Surabaya kenapa sih…
Sebagai usaha pertama mengenal Kota Surabaya, Suroboyo Ngalor Ngidul melakukan counter-mapping–konsep pemetaan subversif yang dicetuskan oleh Nancy Lee Peluso–terhadap warung kopi tradisional, pasar terbuka, kampung-kampung bantaran sungai dan pinggir rel, serta tipologi+toponomi jalan+gang dengan berjalan kaki. Pemetaan ini kami lakukan sebagai studi eksploratif dengan harapan periset lain dapat menggunakannya sebagai dasar untuk melakukan studi-studi yang lebih detail.
Ada banyak cara untuk mempelajari Kota Surabaya. Salah satu pendekatan yang kami gunakan adalah berdasarkan tipologi kampung perkotaan di Surabaya yang disusun oleh Shirleyana (2018), yaitu kampung pinggir rel, kampung bantaran sungai, kampung pesisir, kampung pinggir kota, kampung kota tua, dan kampung dalam kota. Pendekatan lainnya untuk menganalisa Kota Surabaya adalah dengan mendiskusikan isu-isu perkotaan, seperti absennya transportasi publik, terbatasnya mobilitas perempuan, dan kekerasan infrastruktur saluran air dan rel kereta api. Kami pun mengamati Kota Surabaya sebagai kolase berupa: bangunan privat dan publik yang bertetangga, jalan berliku dan gang buntu, monumen, makam, taman kota, kebun binatang, kucing kampung, kebun toga, masjid, dan warung, dimana satu sama lain saling melengkapi untuk bercerita tentang kota metropolitan yang kompleks ini.
Suroboyo Ngalor Ngidul mengundangmu untuk kelayapan di 31 kecamatan dengan 154 kelurahan di Kota Surabaya, mulai dari Benowo sampai Kenjeran, dari Siwalankerto sampai Krembangan. Dengan luas wilayah 350,54 km² dan penduduk sebanyak 2,97 juta jiwa pada tahun 2020, Surabaya dihidupi oleh ratusan kampung dan puluhan sungai, menjadikannya sebuah arena belajar yang tidak ada habisnya. Sebagai platform untuk belajar bersama, kami akan meluncurkan program residensi online, kelas urbanis, dan lokakarya pemetaan di awal tahun 2022.
Semangat ngalor ngidul ini diperkuat dengan buku yang kami baca akhir-akhir ini, “Why Loiter: Women and Risk on Mumbai Streets” yang ditulis oleh Sameera Khan, Shilpa Phadke dan Shilpa Ranade. Why Loiter? menegaskan pentingnya perempuan mengambil resiko untuk ngalor ngidul, kelayapan, dengan tujuan menjadi bagian dari kota, dan kota menjadi bagian dari diri kita, claim and belonging. Why Loiter? menyatakan kelayapan sebagai tindakan dasar mengklaim ruang publik dan memiliki potensi untuk perubahan kota yang lebih inklusif, tidak hanya untuk untuk perempuan, tetapi untuk semua orang.
Imagine our streets full of women talking, strolling, laughing and gesticulating. Imagine parks and beaches dotted with young women sitting alone contemplating the setting sun. Imagine street corners taken over by older women reflecting over the state of the world. Imagine maidans occupied by women domestic workers planning their next strike for a raise in minimum wage. If one can imagine all of this, one can imagine a radically altered city.
Sameera Khan, Shilpa Phadke, dan Shilpa Ranade (2011)
Bagaimanapun, selamat datang di Surabaya!
Akmal, Hilman, Anitha
Suroboyo adalah pelafalan bahasa Jawa untuk Kota Surabaya. Ngalor berarti menuju ke utara, ngidul menuju ke selatan, sedangkan ngalor ngidul berarti berkeliling menuju ke segala arah, tanpa arah, in all directions, without direction. Ngalor ngidul bersinonim dengan blakra’an, kelayapan, terkesan tanpa jelas tujuannya ke mana. Ngalor ngidul pun melekat dengan cangkruk di ruang publik.
Semangat ngalor ngidul ini kami bahas bersama Pak Suparlan (Cak Lan), seorang seniman yang tinggal di jantung kota Surabaya tepatnya Kampung Keputran. Setelah ngalor ngidul bertukar ide mengenai Surabaya, Cak Lan membuat logo Suroboyo Ngalor Ngidul dan gambar utama di webpage ini yang bertajuk “Aktivitas Hidup”.
About Us
Suroboyo Ngalor Ngidul is a platform for all of us to loiter around Surabaya by walking, cycling, and ngangkot (taking the informal public transportation angkot) to get to know the city. Suroboyo Ngalor Ngidul emerged from the need for access to contemporary knowledge about Surabaya, which is currently severely limited. As the second-largest port city in Indonesia with a rich history of infrastructure and trade, it deserves to be studied further by its citizens and others; not stopping on the common heroic narrations surrounding the nation’s independence. Suroboyo Ngalur Ngidul also emerged from the many questions that arose about the city: why do women not loiter around freely in the city? Why do children and elderlies have very limited mobility? Why have mass transportations been absent for decades? Why, why, why. Surabaya, why are you like this?
As the first attempt to know Surabaya, Suroboyo Ngalor Ngidul performed counter-mappings–the cartography that lets the powerless speak, a subversive form of mapmaking as coined by Nancy Lee Peluso–of traditional coffee shops, open-air markets, kampongs along riverbanks and railroads, and the typology and toponymy of streets and alleys by walking. This mapping is done as an explorative study in the hopes that other researchers may use it as the basis for more thorough works.
There are thousands of ways to study Surabaya. An approach we choose to use is based on the typology of kampongs in Surabaya outlined by Shirleyana (2018); railways kampong, riverbank kampong, coastal kampong, city fringe kampong, old town kampong, and inner-city kampong. Another approach to analyse Surabaya is by discussing urban issues surrounding it, such as the absence of public transportation, the limited mobility of women, and the violence and desacralisation of natural planes and original sites inflicted by the waterways and railways built by the Dutch colonisation. We observe Surabaya in montages: the juxtaposition of its private and public buildings, its intricate streets and dead-end alleys, monuments, city parks, its infamous zoo, common cats, mini gardens of family medicinal herbs, mosques, and roadside stalls; each of them complementing the others to tell the story of this complex city.
Our spirit of ngalor ngidul is further empowered by a book we have been reading lately, Why Loiter: Women and Risk on Mumbai Street, written by Sameera Khan, Shilpa Phadke, and Shilpa Ranade. Why Loiter? puts an emphasis on the importance for women to take the risk and loiter, wander around the city, to become a part of it and make it a part of them; a chain of claim and belonging. Why Loiter? defines loitering as a fundamental action to claim public spaces. It also has the potential to develop more inclusive changes to the city—not only for women, but for all of us. Or, in the words of the authors:
Imagine our streets full of women talking, strolling, laughing and gesticulating. Imagine parks and beaches dotted with young women sitting alone contemplating the setting sun. Imagine street corners taken over by older women reflecting over the state of the world. Imagine maidans occupied by women domestic workers planning their next strike for a raise in minimum wage. If one can imagine all of this, one can imagine a radically altered city.
Well. Anyways: welcome to Surabaya!
Akmal, Anitha, Hilman
Suroboyo is the Javanese pronunciation of Surabaya. Ngalor means to go north, ngidul means to go south; together, ngalor ngidul means going around in all directions, without directions. Ngalor ngidul is also closely associated with activities like loitering and sitting around doing nothing in public. It is synonymous with blakra’an and kelayapan, and these words share a similar meaning: to stroll around, go back and forth with no apparent destination.
We discussed our spirit of ngalor ngidul with Mr Suparlan (Cak Lan), an artist who lives in the heart of Surabaya—specifically at Kampung Keputran. After rounds of back-and-forth exchange of ideas, Cak Lan created the logo of Suroboyo Ngalor Ngidul and the header image of this webpage, titled “Living Activity”.