SUROBOYO NGALOR NGIDUL

,

Suroboyo Ngalor Ngidul: Warung Kopi Tradisional 

Kumpulan warkop kesukaan warga Surabaya

“Ini warkop Jahanam, semua pelanggannya setan!” sahut Cak Muhari kepada pelanggannya. 

Warga Surabaya menyebut warung kopi dengan panggilan akrab berupa akronim, warkop. Salah satu warkop yang ada di hati adalah warkop Cak Muhari yang sudah lebih dari tiga puluh tahun menjalankan warkop berupa rombong, berjualan keliling di Kampung Ampel, Surabaya Utara, dari matahari terbit hingga tenggelam. 

Surabaya adalah kota pelabuhan, tetangga dekat pulau Madura, ibukota  provinsi Jawa Timur, kota terbesar kedua di Indonesia. Surabaya dengan  jumlah penduduk sekitar empat juta jiwa adalah kota kedua, seperti Penang di Malaysia dan Cebu di Filipina. Dengan luas wilayah 350,5 km2, Surabaya memiliki ratusan taman yang dirancang sebagai ruang publik oleh  pemerintah, tapi warkop menjadi pilihan klasik warga sebagai rumah kedua.  

Warkop adalah warung yang menempati sebuah ruangan beratap dengan satu atau dua sisi terbuka atau dalam bentuk rombong yang menyajikan minuman kopi sebagai menu utama. Warkop mudah dijumpai di Surabaya, di pasar tradisional, di dalam gang, di persimpangan jalan, di mana-mana, jumlahnya ribuan. Warkop memiliki penampilan berupa rombong (gerobak dorong untuk berjualan pedagang kaki lima, terbuat dari kayu), keber (kain pelindung dari sinar matahari) dengan tulisan huruf kapital WARKOP, kursi kursi panjang menampung lima hingga sepuluh pria yang minum kopi sambil  merokok, mereka mudah terlihat.  

Warkop Sederhana di Pasar Pacar Keling

Karakter utama dari warkop di Surabaya adalah penggunaan gaya tradisional  penyajian kopi yang populer di Jawa Timur yaitu kopi tubruk. Satu sendok  makan bubuk kopi robusta dan satu sendok gula pasir bersatu dalam cangkir diseduh dengan air panas yang baru saja mendidih kemudian diaduk cepat dengan sendok. Peracik kopi menyajikan kopi dalam cangkir dan lepek dan menyajikannya di hadapan pelanggan. Satu-dua menit menunggu bubuk kopi turun di dasar cangkir baru diminum atau langsung dituang ke lepek, ditiup  sedikit, lalu diseruput.  

Dengan pasokan biji kopi robusta yang melimpah dari banyak perkebunan  kopi di Jawa Timur, Surabaya menjadi ruang pamer melalui warkop. Pabrik  kopi sangrai skala kecil – menengah di Surabaya menjadi penyalur biji kopi sangrai dan bubuk kopi ke warkop dengan merek, seperti bubuk kopi cap Sedan, Jari Besar, Enam Enam, Pantjar Gas, dan Moci. Untuk pabrik skala  besar ada cap Singa dan cap Uang Emas yang tidak asing di lidah warga Surabaya.  

Meskipun tanpa julukan “kota seribu warkop”, seperti yang disandang oleh  kabupaten Bulukumba, kota Banda Aceh, dan Bangka-Belitung, warkop di  Surabaya adalah aktor utama dalam panggung kehidupan rakyat kota.  Mereka ada di hampir setiap jalan dan gang, nyata di simpul-simpul kota, bahkan bisa ada di dalam rumah. Ekonomi kerakyatan yang dijalankan oleh  warkop ini menghadirkan ruang yang aman dan nyaman bagi warga, menjadi  tempat terbaik di Surabaya. Warga minum kopi saat matahari terbit, setelah  makan siang, dan sebelum matahari tenggelam. Surabaya adalah peminum  kopi. 

Saya mendapat kesempatan untuk menikmati kopi di warkop (dengan nama  yang berbeda, rumah kopi atau kedai kopi) dari Sabang sampai Ambon  selama empat tahun terakhir. Warkop di Indonesia (terutama di kota-kota  pelabuhan) mulai muncul sejak tahun 1910-an sampai akhir 1980-an. Warkop ini tumbuh subur di area kota lama dekat dengan pelabuhan, bersemayam di  dalam pasar, saksi mata perubahan kota, dan pendukung pergerakan  ekonomi-sosial di kota.  

Warung kopi tradisional juga masih bertahan di beberapa negara di Asia, seperti kopitiam di Malaysia, Singapura, dan Thailand, kedai mamak di  Malaysia, cha chaan teng di Hong Kong, kissaten di Jepang, dan Indian Coffee House di Kolkata. Tidak hanya warung kopi tradisional, ruang ketiga  lainnya, seperti pojangmacha di Korea dan re-chao di Taiwan juga menjadi  andalan kelas pekerja di negara tersebut.  

Membuat suatu konfirmasi: tempat terbaik di Surabaya adalah warkop  

Selepas saya menikmati buku Eating Together: Food, Space, and Identity in  Malaysia and Singapore karya Jean Duruz dan Gaik Cheng Khoo, rasa  penasaran terhadap budaya kopitiam di Semenanjung Malaysia, Sumatra,  Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon merambat ke Surabaya yang dikenal sebagai bandar kopi. Awal tahun 2018 saya mulai memperhatikan apa-apa yang terjadi di warkop di Surabaya, menjadi pelanggan di lebih dari sepuluh warkop, dan akhirnya membuat suatu konfirmasi bahwa warkop adalah  tempat terbaik di Surabaya.  

Awal tahun 2019 Ibu Maimunah, pemilik sebuah warung kopi tradisional di  Surabaya terpaksa meninggalkan kios yang ia sewa di Pasar Pabean. Pindah  kios di lorong pasar yang lebih sepi hilir-mudik pekerja pasar dengan kondisi  bangunan tidak terawat. Kesedihan bertambah karena koleksi toples kunonya  pecah sewaktu pindahan dan terpaksa melakukan renovasi dengan  menggunakan material yang kurang berkualitas. Warkop ibu Maimunah berkontribusi secara konsisten kepada pekerja pasar sejak awal tahun 1950-an, menempati kios dengan kayu-kayu coklat yang menjadi pilar dan memiliki arus padat pekerja pasar karena berada di muka bangunan pasar. Tidak ada lagi keber kain berwarna biru karena warkop pindah ke dalam bangunan. Sebelumnya keber biru, meja kayu, kursi kayu, toples kuno isi  kerupuk, dan lokasinya di depan pasar adalah ucapan hangat selamat datang  kepada para pengunjung pasar.  

Sepanjang Juni 2019 hingga Desember 2019 di musim kemarau panjang dengan suhu menantang di Surabaya, setiap paginya saya minum kopi di warkop-warkop. Minum kopi di warkop langganan dan warkop-warkop yang bersemayam di pasar-pasar tradisional di  Surabaya. Saya berkunjung ke lebih dari tujuh puluh pasar tradisional di  Surabaya, tersebar di tiga puluh satu kecamatan. Saya berjalan kaki, naik  angkutan kota (angkot), dan bersepeda ke pasar dan warkop, berangkat dari  jam 5 pagi hingga lewat tengah hari, bahkan hingga sore.  

In Surabaya, as throughout Indonesia, the day begins very early. As color creeps into the sky and streetlights fade, the streets begin to come to life. By the time the sun peeps over the horizon, around 5 A.M., there is already bustle in the local markets as women arrive on foot or by becak to buy daily needs of vegetables, fruit, eggs, chicken, soybean curd (tahu), and soybean cake (tempe).

Dick (2002:19) 

Biasanya saya bangun paling cepat jam 6 pagi, menantang diri untuk bangun  lebih awal untuk mengenal pasar-pasar di Surabaya. Sebelum jam 6 pagi,  udara masih bersih dan sejuk. Mulai jam 6 pagi pusat kota Surabaya akan  kebanjiran kendaraan bermotor. Berjalan kaki sepuluh menit dari tempat  tinggal saya di pusat kota, naik angkot, lyn ke Manukan, Balongsari, Sidotopo, Wonokusumo, Tambakrejo, Wonokromo, Tenggilis Mejoyo, dan Mulyosari. Dari pusat kota menuju timur, barat, selatan, dan utara, berkunjung ke warkop-warkop kesukaan warga.  

Terinspirasi saat berkunjung ke Kolkata, saya berjalan kaki bersama banyak  warga Kolkata dari rumah atau stasiun kereta bawah tanah ke pasar atau  kantor, berhenti di banyak kedai teh. Sepanjang semester ke-2 tahun 2019, saya berjalan kaki di satu hingga dua kelurahan dan minum kopi di sejumlah warkop. Matahari terbit jam 5 pagi dan mulai tenggelam jam 5 sore di  Surabaya, saya punya dua belas jam di bawah sinar matahari untuk  mengenal kehidupan warga Surabaya melalui pasar, kampung, dan warkop.  Saya bisa menikmati hingga tujuh gelas kopi di tujuh warkop yang berbeda  sepanjang pagi, sambil berjalan kaki.

Sepanjang September 2019 saya residensi di Bulukumba–kabupaten dengan  julukan “1000 warung kopi” di Sulawesi Selatan–dalam rangka Makassar  Biennale. Saya dengan dukungan kawan-kawan Sabtu Keren mendapat  kesempatan ikut panen kopi di desa Kahayya (kahayya dari kata qahwah dalam bahasa Arab yang berarti kopi). Bersama petani-petani perempuan,  saya mendaki bukit dan lembah, panen kopi batch terakhir. Memasak air  dengan api unggun dan meracik kopi arabica hasil panen selepas kami  bekerja di ladang. Saya bertambah yakin untuk mempelajari warkop di  Surabaya karena kita berada di tanah yang sama dengan perkebunan kopi.  

Surabaya sebagai pusat perdagangan kopi dan komoditas kolonial lainnya sejak akhir abad ke-18 menjadikan kota ini bandar kopi dan peminum kopi. Tahun 1920an – 1930an menjadi masa emas untuk para pedagang biji kopi  yang masih bertahan hingga kini dan tersebar di sepanjang jalan Songoyudan  dan Kalimati Kulon di kota lama Surabaya. Usaha penggilingan kopi yang  populer di pecinta kopi robusta ada di pasar Pabean dengan merek Jari  Besar. Warung kopi tradisional tersebar di kampung Ampel, kawasan  Jembatan Merah, dan Pecinan.  

Warkop menjadi ruang sipil warga kota Surabaya, dari lor ke kidul, dari wetan ke kulon. Harga minuman dan makanan terjangkau bagi sebagian besar  warga, bebas untuk merokok, buka sebelum matahari terbit atau buka 24 jam,  letaknya strategis di dalam kampung, di persimpangan jalan, di pasar, di  sebelah masjid, di simpul-simpul kota. Ruang bebas untuk berbicara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ruang bebas untuk mengkritik pemerintah mulai tingkat RT (Rukun Tetangga) sampai presiden. Warkop adalah ruang nyaman untuk  menjadi diri sendiri, saling belajar, dan bertukar pengetahuan. Pelanggan  saling berbagi informasi lowongan pekerjaan, peluang mendapatkan uang. Warkop bisa menjadi ruang rekreasi, bermain catur dan domino, tidak lupa  saling mengingatkan untuk menjaga kondisi kesehatan.  

For the rest of 1998, shabby street stalls crammed Jl. Dinoyo. Constructed from cast-off pieces of wood, bamboo and corrugated iron and serving as a  vending point for lttle more than coffee and cigarettes, these stalls were points of gathering together (berkumpul) for Dinoyo men. Inside the street stalls, men shared more than coffee and cigarettes. They also shared information, a most valued resource. As they sipped their coffee and talked, they would hear of income-earning opportunities, such as labourer needed on a building project,  a bookkeeper needed to organize bets on an upcoming soccer game, a judge and a ticket-taker needed for a motorcycle race, a driver and labourers needed to load and transport scrap metal to Sidoarjo, a broker needed to sell a watch that someone wanted to sell.   

Peters (2013:126)

Kenyamanan menikmati secangkir kopi, cangkruk, ngobrol ngalor ngidul,  mengingatkan pada suasana kampung. Sebagai kota pelabuhan terbesar dan  paling modern di masa penjajahan Belanda, Surabaya menarik perhatian  banyak anak muda dari segala penjuru Nusantara dan Asia-Eropa, mereka  merantau ke kota ini. Suasana kampung halaman akan selalu dirindukan oleh para pendatang yang kemudian menetap, beranak-pinak di Surabaya,  menjadikan kota ini kosmopolitan sejak akhir abad ke-19.  

Warkop di Surabaya secara umum menyajikan minuman dan makanan halal,  meskipun tidak diperlukan logo halal yang dikeluarkan oleh MUI. Warkop  menjadi ruang kosmopolitan bagi semua penganut agama dan kepercayaan  lainnya. Di Malaysia, kedai mamak dikelola oleh warga Indian Tamil Muslim adalah ruang cosmopolitan, mengakomodir pelanggan muslim dan agama  lainnya. Kopitiam di Malaysia pada masa lampau juga menjadi ruang kosmopolitan, tapi sekarang terbatas dan harus memiliki logo halal dan sertifikasi dari pemerintah untuk melayani pelanggan muslim. Tentang kedai mamak sebagai ruang kosmopolitan dibahas dengan menarik di buku Eating Together: Food, Space, and Identity in Malaysia and Singapore karya Jean  Duruz dan Gaik Cheng Khoo. 

Warkop yang saya sertakan dalam buku saku ini adalah milik individual atau  bisnis keluarga yang sudah dikelola dua sampai tiga generasi. Biasanya  menyewa kios di pasar atau di halaman rumah, memiliki pemandangan terbuka ke jalan. Warkop menampilkan referensi sang pemilik, seperti  berkunjung ke rumahnya. Kalendar yang dipajang adalah kalendar dari pabrik  kopi atau perusahaan di sekitar warkop. Gambar Wali Songo, Sunan Ampel, Sunan Kalijogo, dan Soekarno (presiden pertama Republik Indonesia) menjadi gambar-gambar favorit. Pigura dengan ayat-ayat Al-Quran terpajang  di dinding warkop. Jam dinding merek Mirado—made in Surabaya—menjadi  suatu keharusan.  

Warkop menyajikan kopi di cangkir yang dipakai seperti saat kita bertamu ke  rumah seseorang, atau gelas hadiah dengan logo merek-merek lokal, sering  juga diberi tanda inisial pemilik warkop dengan cat warna. Serbet dengan  motif yang banyak saya temukan di Kolkata, gamacha, hadir sebagai properti utama. Satu kipas angin cukup mengusir hawa panas dan kotak amal untuk  masjid/musollah yang berada dekat dengan warkop. Kursi panjang dan meja kayu berwarna coklat matang yang sudah berpuluh tahun menemani para  pelanggan, pemilihan furnitur berkualitas nan cerdas. 

Suasana nyaman juga disokong musik dangdut dan pop Indonesia tahun 80- an dari radio Suara Giri FM dan Media FM diputar oleh pemilik warkop. Televisi layar datar kerap sebagai medium yang memutarkan video  pertunjukan OM Palapa, kelompok musik dangdut kenamaan asal Sidoarjo. Pelanggan yang biasanya adalah warga atau pekerja di sekitar warkop, bisa  membaca koran Jawa Pos atau Surya yang tersedia secara gratis di meja. Obrolan-obrolan pelipur lara dan lelucon terus mengalir dalam bahasa  Suroboyoan dan atau bahasa Madura yang bercampur dengan bahasa  Indonesia menjadikan warkop sebagai tempat terbaik di Surabaya.  

Suatu pagi, saya cangkruk di warkop keliling Cak Muhari, selama empat jam  tawa saya tak putus, seperti menyaksikan pertunjukan ludruk di gedung THR, banyol tok. 

Dimulai pada abad ke-19 dan makin menanjak pada abad ke-20, suatu bentuk kesenian baru dimulai telah menanamkan karya di kalangan massa Jawa—yakni sandiwara panggung serio-comic populer, di Surabaya adalah ludrug. Dalam ludrug, bentuk kesenian yang paling dipertunjukkan di  Mojokuto, cerita dan dagelan lebih banyak saling mengimbangi dan maksud  untuk menghibir dan mendapat keuntungan digabungkan maksud untuk  mendidik. Ludrug dimainkan dalam bahasa Jawa rendahan, ngoko. Lagu lagunya modern bentuknya, semacam kroncong. Karena ludrug merupakan campuran dari politik kekiri-kirian, melodrama sederhana, komedi murahan, dan bentuk seksualitas yang dilarang, maka cengkeraman ludrug pada  penontonnya yang kebanyakan abangan tampaknya hampir sukar  dilepaskan.

Geertz (1983: 288, 391, 397) 

“Kerjo dari tahun 90 ndak sugih-sugih!”, sambat seorang pelanggan warkop “Iyo, tapi bojo wis papat!”, balas pelanggan lainnya 

Warkop adalah tempat warga untuk bersantai, bersiap untuk memulai hari,  istirahat di sela-sela pekerjaan, dan melepas penat setelah jam kerja. Berbicara apa saja, serius atau ngawur, penuh lelucon dengan pemilik  warkop dan sesama pelanggan. Tidak heran hati ini akan kembali  bersemangat setelah berkunjung ke warkop. Mengingat Surabaya adalah kota  industri pertama di era kolonial, warkop juga menjadi basis untuk buruh,  pedagang kecil, dan warga untuk membahas masalah yang dihadapi dan  impian.  

“Coffee houses were sometimes known as “penny universities” because, in the early days, for one penny anyone could come in, read the papers and listen to the conversation, as well as hear lectures often given by the most eminent men in their field. This provided ongoing educational opportunities for those who traditionally would have had little access to information.“ 

Stone (2013)

Nuansa informal dibangun secara natural dengan ruangan semi-terbuka,  tanpa mesin penyejuk udara. Terbuka untuk siapa saja, segala usia, segala  gender (meskipun masih didominasi oleh pria). Warkop biasanya sudah  punya pelanggan tetap. Jika kita baru pertama kali datang, sang pemilik dan  pelanggan tidak ragu bertanya di mana tempat tinggal, tujuan ke mana  (setelah mampir di warkop), sudah menikah atau belum (ditujukan kepada  pelanggan perempuan muda), dan tentang pekerjaan, sekalipun tidak  bertanya nama.  

Cak, kopi hitam, tidak pakai gula. 

Bungkus? 

Minum di sini!  

Bagi perempuan, warkop sebenernya tempat aman untuk menikmati hari  minum kopi dengan suasana guyub. Sayangnya pelanggan warkop masih didominasi oleh pria, padahal ruang ini sebenarnya sangat terbuka dan demokratis. Di banyak warkop, pelanggan perempuan biasanya membeli kopi  dibungkus dengan alasan tidak nyaman jika minum di tempat. Kenyataanya Surabaya memiliki warkop-warkop andalan yang dikelola oleh perempuan,  salah satunya warkop Pojok di pasar Pecindilan, dikelola oleh dua generasi keluarga Madura semuanya perempuan.  

Kopi mempunyai rasa pahit-pahit sedap menyegarkan karena kandungan zat  kafeina itu, kurang lebih sebagai berikut: kafeina (1-2.5%), minyak astiri (10- 16%), asam chlorogen (6-10%), zat gula (4-12%), selulosa (22-27%). Kadar  kafeina yang terdapat dalam kopi Robusta sedikit lebih tinggi dibanding kopi  Arabika. Sebaliknya, jenis Arabika lebih banyak mengandung zat gula dan  minyak astiri. (Spillane, 1990:19) 

Kopi robusta dominan disajikan di warkop, cocok untuk kelas pekerja di  Surabaya. Kafein dibutuhkan oleh pekerja yang banyak mengeluarkan tenaga  fisik, seperti tukang becak, penyapu jalan, dan saya sebagai pejalan kaki.  

Kopi menjadi minuman paling populer di Surabaya. Saya melihat ada lebih  dari seribu warkop di Surabaya dan beragam jenisnya, mengagumkan. Jika di  Bulukumba, Banda Aceh, dan Bangka-Belitung mempunyai kopitiam dengan penyajian kopi saring dan telur setengah matang, Surabaya memiliki variasi  dalam presentasi penyajian kopi, jenis kopi, makanan pendamping, interior, jam operasional, dan lokasi warkop.  

Keberagaman warkop di Surabaya yang saya temukan tetap mempunyai  karakter serupa, seperti yang ditulis oleh Matthew Green (2013) mengenai  warung kopi di London.  

Despite this colourful diversity, early coffeehouses (in London) all followed the same blueprint, maximizing the interaction between customers and forging a  creative convivial environment. They emerged as smoky candlelit forums for commercial transactions, spirited debate, and the exchange of information,  ideas, and lies.  

Saya memetakan warkop yang dibangun tahun 1920-an hingga awal 1990-an, banyak ditemukan di Surabaya Utara dan Surabaya Pusat, disebut warung  kopi tradisional. Mereka adalah usaha keluarga, tidak perlu buka cabang, menggunakan kopi yang disangrai dan digiling sendiri atau membelinya di toko kopi giling. Warkop tertua di Surabaya, dikelola oleh seorang  perempuan, warkop Elita di kawasan pasar Pabean. Warkop Elita berusia  sama dengan bangunan baru pasar Pabean berlanggam art deco tahun 1930-an. Saya juga mencantumkan warkop awal tahun 2010an, menyajikan kopi arabica dengan harga terjangkau, merayakan kekayaan kopi arabica  Indonesia. 

Banyak warung kopi tradisional tidak mempunyai nama. Biasanya pelanggan  menyebutnya dengan merujuk warna rombongnya: warkop ijo, warkop biru, atau warkop ungu. Warkop tanpa nama juga sering dinamai panggilan pemilik  warkop, nama pemilik pria, seperti; warkop Cak Mus, warkop Cak Min,  warkop Cak War, warkop Pakde Yanto. Sementara untuk panggilan pemilik  perempuan, seperti: warkop Elita, warkop Maimunah, warkop Endang. Warkop tanpa nama di persimpangan jalan akan dengan mudahnya dinamai warkop Pojok.  

Lebih dari seratus warkop dalam pemetaan ini adalah andalan saya untuk menikmati masa di Surabaya. Saya pilih berdasarkan kenyamanan saya  sebagai pengunjung perempuan (sekali lagi, pelanggan warkop didominasi pria), jarak dari rumah (saya tinggal di pusat kota, kampung Grudo), akses transportasi umum, menyajikan kopi tubruk menggunakan kopi giling (bukan bubuk kopi produksi massal) dan teman kopi yang sedap (sego bungkus  daun, pisang kepok rebus, sukun goreng, ketan, onde-onde), desain bergaya bar di mana peracik kopi berhadapan langsung dengan pelanggan, dan lokasi  warkop berada di simpul-simpul kota (nodes) yang menarik untuk dijelajahi.  

Semua warkop ini saya petakan menggunakan OpenStreetMap app, MAPS.ME (terima kasih kepada Jan C. Borchardt yang mengajak saya untuk aktif di OpenStreetMap). Bisa diakses di tautan ini.

Selain warkop, Suroboyo Ngalor Ngidul juga memetakan pasar dan kampung. Jelajahi pasar-pasar dan kampung-kampung perkotaan di Surabaya di tautan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Suroboyo ngalor ngidul
IndonesianEnglish