Teks ini ditulis oleh Hilman Prakoso. Foto-foto pada teks ini diambil oleh penulis.
Terbit—tenggelam, datang—pergi, lahir—mati. Suka atau tidak setiap peristiwa akan selalu ada 2 ujung, satu yang kita suka dan satu lagi yang kita tidak suka. Kehidupan juga memiliki 2 ujung yang kita tahu pasti adanya dan tidak bisa dihindarkan, kelahiran—kematian. Satu ujung membuat orang-orang berbahagia dan merasa dilimpahi berkah, sementara ujung lainnya membuat orang yang ditinggalkan mengalami kedukaan dan kesedihan. Ujung inilah yang ditakuti kebanyakan orang hingga berusaha menjauhi hal-hal yang berhubungan dengannya. Menyisakan ruang-ruang ”menganga” di kota berupa makam. Kosong, ditinggalkan dan ditakuti.
Eittss… tapi beda kasusnya dengan Makam Kristen Kembang Kuning Surabaya yang jauh dari kesan tersebut karena di sini kehidupan dan kematian hadir beriringan. Sejak 1901, makam yang berada di Kecamatan Sawahan ini adalah pembatas sekaligus penghubung kawasan elit permukiman Darmo di sisi timur dengan Dukuh Kupang di sisi barat. Di tengah makam ini terlintas Jalan Kembang Kuning Makam sepanjang 500 meter yang menjadi transisi antar kedua kawasan tersebut. Jalan inilah yang dari pagi sampai larut malam hari masih ramai dilalui kendaraan dan orang karena ini adalah salah satu akses masuk ke kawasan Dukuh Kupang dari arah Surabaya Pusat.
Jalan Kembang Kuning Makam terbagi menjadi 2 bagian dengan bundaran tugu makam mantan Walikota Surabaya, Gerrit Jan Dijkerman, di tengahnya. Berjalan di jalan bagian timur akan sangat menyenangkan karena ada trotoar selebar 1 meter di setiap sisi dengan jalan paving selebar 5 meter yang terlihat melegakan. Meski perjalanan di sisi ini akan sedikit berat karena perbedaan kontur yang signifikan, tapi itu akan terbayar dengan pemandangan indah dari hamparan perbukitan makam. Ketika malam hari bisa menikmati terangnya bulan yang menerpa beton-beton makam dari beberapa warung yang berada di sisi jalan. Berjalan di bagian barat akan lebih menarik lagi. Kita bisa menjadi lebih dekat dengan yang telah duluan pergi karena tidak ada trotoar di sini. Jalan aspal selebar tidak lebih dari 4 meter akan bersandingan langsung dengan nisan-nisan. Untuk berjalan kaki di bagian ini kita harus sedikit mengantre dengan kendaraan yang melintas, tapi tidak apa karena bisa lelah berjalan bisa langsung duduk di beton makam (kegiatan ini tidak disarankan karena tidak sopan bagi sebagian orang, tapi banyak warga setempat yang melakukan hal tersebut jadi ya diikuti saja).


Sebenarnya kalau mau selain melintas langsung melewati Jalan Kembang Kuning Makam, bisa juga melihat beberapa bagian makam yang lain. Dalam 25 hektar makam ini juga terdapat bagian-bagian lain juga. Meskipun secara resmi nama makam ini adalah Makam Kristen Kembang Kuning Surabaya, tetapi di dalamnya ternyata terdapat Makam Yahudi di bagian utara, Makam Jepang di bagian barat, dan Makam Ereveld, makam bekas perang yang dikelola pemerintah Belanda, di bagian selatan.
Sayang sekali, satu tahun belakangan ini kita tidak bisa lagi melintas di jalan Kembang Kuning Makam ketika telah lewat dari jam 5 sore. Entah atas dasar apa tapi sekarang ujung-ujung jalannya ditutup dengan portal besi. Apakah mungkin karena kondisi pandemi COVID-19? Atau mungkin karena rumornya makam ini banyak digunakan sebagai tempat prostitusi (kita simpan untuk bahasan berikutnya)? Jawabannya belum diketahui secara pasti, tapi yang jelas penutupan jalan ini memutus akses dan memperlambat pergerakan warga. Lalu, bagaimana caranya warga bisa tetap? apakah pejalan kaki bisa melintas? bagaimana rasanya kalau mobilitas warga menjadi terputus seperti ini? Banyak sekali pertanyaan muncul di benak kami yang jawabannya masih kami terus cari bersama. Namun, yah akhirnya Makam Kembang Kuning kembali pada fitrah makam pada umumnya yang kosong, gelap, dan ditakuti. Kembali menjadi bagian dari kematian.
